Info Sekolah
Tue, 19 Nov 2024
  • Tema Mading dapat menampilkan informasi dalam text berjalan
11 Feb 2023

Hadis Sebagai Instrumen Framing Dan Propaganda Dalam Hikayat Prang Sabi

Sat, 11 Feb 2023 Kategori : Literasi Santri

Penulis, Muhammad Arifin dan Nafal Afnan
Editor, Parisha

Mayoritas Ulama di seluruh dunia, baik itu ulama salaf maupun modern sepakat bahwa hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Hadis berfungsi sebagai penjelas, pembatasan, pengkhususan kembali hukum yang ditegaskan dalam Al-Qur’an, sehingga menjadikan hadis sebagai posisi penting dalam kajian keislaman. Di era kontemporer ini, banyak teks-teks hadis tersebar luas dalam ruang lingkup masyarakat, kebanyakan dari masyarakat tersebut tidak menyadari kualitas sebuah hadis yang diperolehnya.

Memahami hadis harus berdasarkan penelitian, dalam arti mengetahui sanad dan matan hadis untuk memastikan kedudukannya. Penelitian terhadap sanad dan matan sangat penting, ia berfungsi untuk menentukan kualitas ataupun makna yang terkandung dalam sebuah teks hadis, baik itu secara tekstual maupun kontekstual. Hal ini diperlukan untuk meminimalisir kesalahpahaman dalam pengamalan hadis yang nantinya ditakutkan akan menjurus kemadaratan dan malabahaya.

Dalam konteks sosio-historis, masyarakat Aceh tidak mau tau terhadap kualitas hadis yang diperolehnya, namun melihat siapa yang menyampaikan. Misalnya, seperti perkataan Ulama, Ulama menjadi narasumber untuk meyakinkan masyarakat dalam hal apa saja. Ucapan dan semangat yang dikhutbahkan ulama memiliki makna yang berperan penting dalam mempengaruhi jiwa masyarakat.

Hal seperti ini kerap terjadi pada tahun 1873 saat Aceh melawan agresi Belanda. Melihat Belanda telah merendahkan agama dan martabat bangsa Aceh, seorang ulama karismatik Aceh, Tgk. Chiek Pante Kulu mejadikan hadis sebagai senjata dalam penulisan hikayatnya. Hikayat tersebut diberi nama Hikayat Prang Sabi, sebuah karya sastra yang membangkitkan semangat juang muda-mudi Aceh. Di Aceh ulama tidak hanya berperan sebagai guru, tapi juga berperan sebagai penggerak masa, seperti halnya Tgk. Chiek Pante Kulu. Dengan begitu masyarakat Aceh akan lebih percaya apa yang disampaikan pengarang dalam syair dan khutbahnya.

Hikayat Prang Sabi merupakan manifestasi perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme dan Imperialisme Belanda. Konteks sosial-politik telah mempengaruhi pengarang menulis sebuah karya sastra dalam bentuk hikayat. Dalam setiap narasi, Tengku Chiek Pante Kulu selalu menjadikan Al-Quran dan Hadis sebagai landasan epistemologinya, Ia menjelaskan dan menafsirkan  kedua teks tersebut dengan menggunakan bahasa Aceh yang dapat memudahkan muda mudi Aceh dalam memahami dan mengingat apa yang Ia sampaikan.

Lantas, bagaimana penafsiran sebuah teks hadis yang dibangun oleh pengarang untuk mendoktrin rakyat Aceh? Sebelumnya penulis sempat menulis bagaimana jejak hadis dalam Hikayat Prang Sabi itu sendiri, mulai dari teks hadis yang dicantumkan oleh pengarang dalam hikayat tersebut, hingga bagaimana kualitas hadis-hadis tersebut.

Hal ini bisa dibaca di opini https://aceh.tribunnews.com/2022/02/05/jejak-hadis-dalam-hikayat-prang-sabi

Tulisan kali ini, penulis mencoba memakai analisis framing struktur retoris untuk mengetahui kesesuaan pemaknaan antara teks dan pembaca, yang mana pengarang HPS menekankan arti tertentu ke dalam hikayatnya. Pengarang seringkali menggunakan pilihan kata tertentu sebagai penekanan arti tertentu kepada khalayak. Sehingga pilihan kata tersebut mempengaruhi dalam proses pemaknaan.

Teks Hadis dan Syarah dalam Hikayat Prang Sabi

al-Jih}a>du Wa>jibu Alai<kum,
Makna meuphoem duem terata,
Taprang kafe fardhu a’in,
Beu tayakin geutanyoe doem na,
Meunan hadis Saidil Mursalin,
Muhammad Amin pelita dunya,
Pertama syahadat kedua sembahyang,
Kaleuh ta meuprang ngen Belanda,
Mungken meunan hana rembang,

Kata “Kaphe (Kafir)” diatas yang selalu di tujukan kepada kolonial dalam penafsiran teks hadis. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk meyakinkan masyarakat Aceh, bahwa Kafir yang kini diperangi adalah kafir yang dulu pernah diperangi Rasulullah. Sehingga tujuan dari kata tersebut dapat membangkitkan semangat perang kepada masyarakat Aceh.

Menurutnya, di masa itu merupakan kesempatan yang sangat indah yang tidak boleh dilewatkan oleh pejuang Aceh untuk berperang melawan musuh-musuh Allah. Selangkah kaki dan mengangkat senjata menuju perang, begitu besar pahala yang di dapatkan. Inilah bagian dari framing atau pembingkaian atas realitas di lapangan. Sehingga ia berguna sebagai alat propaganda untuk membangkitkan semangat berperang para pembacanya. Penggiringan ini dimanfaatkan untuk menghidupkan imajinasi tentang musuh dan nalar jihad orang Aceh dalam merespon kolonialisme Belanda.

Dalam penafsiran teks hadis lainnya, berkaitan dengan eksitensi syurga (“al-Jannah Tah{ta D{ila>li al-Suyu>f”) syurga terletak dibawah pedang seorang mujahid. Syurga yang indah lagi kekal bagi mereka yang mati syahid. Dalam pensyarahan hadis diatas, Tgk. Chiek Pante Kulu menambahkan kata “Bidadari” yang selalu ditujukan kepada mereka yang mati syahid berperang dijalan Allah. Menurutnya, syurga tinggi akan didapatkan bagi mereka yang ikut berperang di jalan Allah. Jarak antara tingkat yang satu dengan yang lainnya sama seperti jarak antara langit dan bumi. Tujuh puluh bidadari Allah persiapkan bagi mereka yang mati syahid.

Kemudian, pengarang mengilustrasikan kepada muda mudi Aceh bahwa seseorang yang mati dalam shaf perang, akan datang kepadanya seorang bidadari dari singgasana syurga, lalu memeluknya dengan ekspresi yang sungguh bahagia, bidadari itu menghusapkan tetesan darah yang ada di kepalanya serta membawa pemuda tersebut ke dalam singgasananya. Memiliki rupa yang sama, namun dengan karakter yang berbeda. Layaknya makanan yang memiliki varian rasa. Begitulah propaganda yang dimainkan Tengku Chik Pante Kulu dalam hikayatnya. 

Tengku Chiek Pante Kulu merupakan seorang ulama karismatik Aceh, rakyat Aceh akan percaya pada apa yang ia sampaikan. Penggunaan dan pemilihan kata-kata tertentu dapat mempengaruhi psikologis seseorang, ia berguna sebagai upaya propaganda dengan tujuan tertentu. Seperti Tgk. Chiek Pante Kulu memilih kata Kafir, Bidadari, dan Syurga dalam penafsiran hikayatnya.

Inilah bagian dari framing atau pembingkaian atas realitas di lapangan. Framing dapat menciptakan keyakinan politik, antusiasme, ketakutan dan hal-hal lain sesuai dengan keinginan pengarang. Dalam hal ini, Ia berguna sebagai alat propaganda untuk membangkitkan semangat berperang para pembacanya. Kemudian, pengaruh pensyarah sangat menonjol, orang tidak mau tau hakikat isinya tapi lebih kepada orang yang menyampaikannya.

Pada akhirnya kita menyadari bahwa masih banyak hal yang harus kita telusuri dalam karya sastra legendaris ini. Jika dulu Tengku Chiek Pante Kulu telah menyumbang sebuah hikayat untuk membangkitkan semangat perang, kini saatnya kita yang membangkitkan kesadaran untuk mengenang karya sastra legendaris ini.

No Comments

Tinggalkan Komentar

 

https://www.oemardiyan.com/